MISTERI DATU LIMA PESANAKAN
Oleh : Putu Sugih Arta.
(1)
Perjalanan hidup memang penuh misteri. Bayangkan saja aku tak pernah mengerti pengalaman yang kualami belakangan ini. Betapa kadang menakjubkan, kadangpula harus merutuki nasib yang terbilang penuh teka-teki berending kecewa. Namun, semua itu kujalani dengan penuh ikhlas pada usia yang masih belia. Belum sepenuhnya mengerti asam garam kehidupan.
Dua kali kuliahku gagal. Sempat belajar di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan mengambil jurusan Sastra Inggris, belum habis empat semester, kubekukan mengambil Fakultas ilmu filsafat. Gagal. Menjemukan. Hanya sampai semeter dua dan kini aku serius di Fakultas Ilmu Sosial mengambil jurusan publisistik yang cukup menantang. Sekarang agak betah bayangkan telah mencapai semester tujuh. Enam bulan lagi materi kuliahku akan habis. Ya, aku mesti mencari kesibukan di luar kampus.
Matahari pagi menyeruak dari balik rimbun cemara. Taman kampus, yang konon dibangun di zaman Kompeni sewaktu masih bercokol di tanah air memberi angin segar inspirasiku. Aku akan coba membuat berita mengenai Taman Kampus ini. Dari mana kumulai ? O, ya dari kenapa Kompeni membuat taman di sini. Kalau melihat letak geografisnya, taman ini berada pada daerah ketinggian. 2760 dpl. Cukup tinggi berhawa sejuk. Namun, kenapa di sini. Baiknya kutanya pada penjaga taman.
Malam itu, sepulang dari rumah Prita aku mampir di rumah Pak Komarudin. Istrinya ramah, “wah, Bapak baru saja mau ke kampus. Ayo, adik duduk dulu. Mau minum kopi ?”
“Kebetulan,”sahutku.
Kurogoh kantung tasku, mencari rokok. Masih dua batang. Maklum anak kos, beli rokok bijian. Kusulut sebatang. Udara dingin yang meradang perlahan terusir. Kuhembuskan asap yang mengepul dari mulutku.
Istri Komarudin masuk, beberapa detik kemudian Komarudin yang nongol.
“Eh, adik Lalu. Tumben main ke rumah saya.”
“Begini, pak. Saya tertarik menulis sejarah taman kampus, saya mau tanya tentang seluk beluknya. Kapan bapak bersedia ?”
“Wah, hari ini saya giliran jaga. Besok, bagaimana ?”
“Setuju, pak…”
“Tapi, rasanya saya hanya mengetahui sedikit saja. Yang paham, itu kakek istri saya. Kakek Salman Al Gazali namanya. Beliau tinggal dua rumah di belang rumah saya.” Tangan Komarudin menunjuk ke arah Barat.
“Ya, kalau bisa selengkapnya, deh.”
“Tentu kakek saya senang sekali Dik Lalu kunjungi. Saya pernah cerita, ada seorang bangsawan Sasak kuliah di sini. Wah, dia senang sekali. Kepingin rasanya ia jumpa, tapi tak pernah sempat saya utarakan pada adik Lalu.”
“Lho, kok sejauh itu ?”
“Wah, adik Lalu pasti bertanya-tanya…kenapa demikian ?”
“Tentu saja…apa yang mendasarinya ?”
Baru saja mulut Komarudin hendak menjawab pertanyaanku.Istri Komarudin keluar membawa baki berisi kopi dan sepiring pisang goreng.
“Ayo silahkan, Adik Lalu…saya baru membuat pisang goreng dari pohon pisang yang ditanam Bapak di belakang rumah…”
“Terimakasih Bu,”aku ambil sebatang pisang goreng hangat hidangan malam itu. Kemudian kupandangi wajah Komarudin yang bangkit dari tempat duduknya mengambil kulit jagung yang terselip di dinding bambu.
“Kami di kampung ini bukan asli penduduk Pulau Jawa lho ?”
“Maksud Pak Komar ?”
“Kami pada zaman Deandles Gubernur Jendral Belanda, adalah rombongan tenaga kerja paksa yang didatangkan untuk membuat jalan Anyer sampai Panarukan…”
“Oh…lantas aslinya dari mana ?”
“Dari Lombok, sama seperti Adik Lalu…”
“Satu kampung ini ?”
“Iya, Adik lalu tahu Desa Jenggala…”
“Ya, saya tahu itu…”
“Nah, dari sanalah kami berasal….”
“Kalau adik Lalu desanya di mana ?”
“Saya lahir di Mataram, pak. Besar di Mataram. Kemudian setamat SMA tujuh tahun lalu saya merantau. Di Denpasar hampir dua tahun, di Surabaya setahun. Dan sampai sekarang di kota ini. Bapak saya angkatan laut, sedang ibu saya guru TK.”
Jawabanku, tak digubrisnya. Komarudin terlihat gelisah. Tiada terasa, waktu berlalu begitu cepat. Cangkir kopi, telah kosong. Komarudin melirik jam dinding hadiah dari Toko Sandal. Pukul 20.00 Wita.
“Mau ke kampus, Pak Komar...”potongku.
“O,ya…soalnya giliran jaga malam.”
“Bareng saya saja, walau motor butut. Masih kuat kok membonceng tiga orang…”
Komarudin tersenyum. Ia pun kuantar ke kampus. .
(bersambung)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar